Rabu, 03 Agustus 2011

Fisiologi Selera Makan Manusia

Fisiologi pengambilan makanan pada manusia, atau lebih sederhana dikenal sebagai selera makan, merupakan suatu hal yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain sistem saraf, endokrin, psikososial dan faktor lainnya. Terkadang faktor-faktor tersebut saling tumpang tindih, sehingga untuk mudahnya maka akan dibahas secara terpisah. Walaupun demikian tetap sebagai satu kesatuan.

Batasan istilah
Lapar adalah sensasi keinginan terhadap makanan dan berhubungan dengan efek fisiologis lain, seperti kontraksi ritmis pada lambung dan rasa gelisah sehingga menuntut ketersediaan makanan yang adekuat. Selera makan adalah hasrat untuk makan, dan sangat berguna dalam menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang akan dimakan. Kenyang adalah sensasi yang dirasakan jika keinginan untuk makan telah dipenuhi.

Regulasi sistem saraf dan biokimia terhadap pengambilan makanan
Sistem saraf berperan besar dalam fisiologi selera makan. Ada banyak daerah pada otak yang merupakan pusat-pusat selera makan, serta saraf-saraf tepi yang merupakan jaras untuk menyampaikan sinyal dari jaringan ke sistem saraf pusat dan sebaliknya.

Hipotalamus adalah pusat pengendali selera makan terbesar. Ada dua daerah pada hipotalamus yang merupakan pusat penting: nukleus lateralis dan nukleus ventromedial. Nukleus lateralis terletak di setiap sisi lateral hipotalamus dan berperan sebagai pusat lapar. Nukleus ini bekerja dengan cara mendorong sel saraf motorik untuk mencari makanan. Stimulasi di daerah ini akan menyebabkan makan dalam jumlah banyak (hiperfagia), sedangkan destruksi di daerah ini menyebabkan kehilangan selera makan, yang dapat berujung pada kehilangan berat badan, massa otot, dan penurunan metabolisme tubuh.
Sedangkan nukleus ventromedial adalah pusat kenyang. Stimulasi di daerah ini akan menyebabkan perasaan kenyang sehingga tidak mau makan (afagia), sebaliknya destruksi di daerah ini akan menyebabkan hasrat untuk makan yang berlebih dan dapat berakibat obesitas.

Daerah lain pada otak yang berperan dalam pengaturan selera makan adalah nukleus paraventrikular, nukleus dorsomedial, dan nukleus arkuata pada hipotalamus. Lesi pada nukleus paraventrikular mengakibatkan makan dalam jumlah berlebih, sedangkan lesi pada nukleus dorsomedial menyebabkan tidak mau makan. Adapun nukleus arkuata merupakan daerah di mana hormon-hormon berpusat dan dikoordinasikan untuk  mengatur pengambilan makanan.

Batang otak juga berperan dalam pengambilan makanan. Dalam hal ini batang otak lebih ke arah mekanisme makan, seperti sekresi air liur, menjilat, mengunyah, menelan dll.

Adapun daerah lain pada otak yang berperan dalam pengambilan makanan adalah amygdala dan korteks prefrontalis. Keduanya berperan dalam pengindraan bau makanan. Lesi pada amygdala dapat meningkatkan selera makan namun dapat juga menurunkannya, bergantung kepada daerah lesi itu sendiri. Salah satu efek penting dari kerusakan di daerah amygdala adalah “kebutaan psikis”, di mana penderita mengalami kendala selera makan parsial dan tidak bisa menentukan jenis/kualitas makanan yang dimakannya.

Pada daerah-daerah yang telah disebutkan di atas, neurotransmitter dan hormon memegang peranan penting. Substansi biokimia tersebutlah yang menentukan apakah selera makan akan dihambat (kenyang) atau dicetuskan (lapar). Untuk itu dikenal pengkategorian sebagai berikut: (1) Substansi orexigenic yaitu substansi yang mencetuskan rasa lapar dan (2) substansi anorexigenic yang menghambat selera makan (dengan kata lain, kenyang).

Neuron yang menghambat selera makan adalah neuron proopiomelanocortin (POMC), di mana substansi yang diproduksinya adalah α-melanocyte-stimulating hormone (α-MSH) bersama dengan cocaine-and-amphetamine-related transcript (CART). Keduanya bersifat anorexigenic. Sedangkan substansi yang mencetuskan rasa lapar adalah neuropeptide Y (NPY) dan agouti-related protein (AGRP). Keduanya bersifar orexigenic.

Neuron POMC bekerja dengan cara melepas α-MSH yang akan berikatan dengan reseptor melanocortin (MCR) pada nukleus paraventrikular. Aktivasi pada MCR akan mengurangi pengambilan makanan dan meningkatkan pemakaian energi, sebaliknya inhibisi (defek) akan meningkatkan pengambilan makanan dan mengurangi pemakaian energi sehingga dapat menyebabkan obesitas. Khusus untuk peningkatan pemakaian energi, MCR bekerja diperantarai oleh nucleus tractus solitarius dan menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis.

AGRP, yang bersifat orexigenic, adalah antagonis alami dari MCR. Dengan demikian, AGRP bekerja dengan cara menginhibisi efek dari MCR dan meningkatkan pengambilan makanan. Pembentukan AGRP yang berlebihan dapat menyebabkan obesitas.

NPY, yang juga bersifat orexigenic, dilepaskan dari nukleus arcuata. NPY dilepaskan ketika simpanan energi menurun, dan di saat bersamaan aktivitas POMC dihambat sehingga mengurangi aktivitas melanocortin dan meningkatkan pengambilan makanan.

Faktor yang meregulasi kuantitas pengambilan makanan
Berdasarkan pemeliharaan simpanan energi pada tubuh, regulasi kuantitas pengambilan makanan dapat dibagi menjadi (1) regulasi jangka pendek yang bertujuan untuk mencegah seseorang makan terlalu banyak dalam suatu kesempatan demi optimalisasi sistem pencernaan dan (2) regulasi jangka panjang yang bertujuan memelihara simpanan energi secara konstan dalam waktu yang relatif lama dan erat kaitannya dengan status gizi. Pembagian  tersebut akan mempermudah menentukan faktor-faktor terkait kuantitas pengambilan makanan.

Regulasi jangka pendek dalam pengambilan makanan
Regulasi jangka pendek ini bertujuan mencegah seseorang makan terlalu banyak dalam suatu kesempatan. Dengan demikian maka sistem perncernaan dapat bekerja secara optimal dalam mengolah dan menyerap sari makanan. Jika hanya mengandalkan sinyal yang dihasilkan oleh simpanan energi (regulasi jangka panjang), maka perlu waktu yang sangat lama untuk menghentikan seseorang makan. Oleh karena itu, regulasi jangka pendek melibatkan mekanisme yang mampu bekerja dengan cepat dalam menstimulasi dan menginhibisi selera makan:
  • Inhibisi akibat pengisian lambung
Ketika makanan masuk ke lambung, maka lambung akan mengalami distensi. Peregangan (mekanik) yang terjadi ini menyebabkan sinyal ditransmisikan melalui nervus vagus ke pusat kenyang-lapar sehingga selera makan akan berkurang atau hilang.
  • Inhibisi yang disebabkan hormon gastrointestinal
Kolesistokinin (CCK) adalah hormon yang dilepaskan ketika lemak memasuki duodenum. CCK ini akan menurunkan selera makan dengan cara mengaktivasi jaras melanokortin.
Peptide YY (PYY) adalah hormon yang dilepaskan oleh traktus gastrointestinal (khususnya ileum dan kolon) yang bersifat menekan rasa lapar. Pengeluaran hormon PYY ini dipengaruhi oleh jumlah kalori yang dicerna dan komposisi makanan, di mana semakin banyak lemak yang masuk semakin banyak hormon PYY yang dikeluarkan.
Selain itu, keberadaan makanan pada saluran cerna menstimulasi sekresi glucagon-like peptide yang memperkuat sekresi insulin. Baik glucagon-like peptide dan insulin sama-sama bersifat menekan selera makan.
  • Stimulasi yang disebabkan hormon gastrointestinal
Ghrelin adalah hormon yang dilepaskan oleh sel-sel oxyntic di saluran cerna khususnya lambung. Hormon ini mengalami peningkatan pada saat puasa, sesaat menjelang makan, dan mengalami penurunan setelah makan. Diduga hormon ini bersifat orexigenic karena meningkatkan pengambilan makanan pada penelitian menggunakan hewan coba.
  • Reseptor oral
Sebuah penelitian menggunakan hewan coba dengan memiliki fistula (kebuntuan) esofageal yang diberi makanan. Kendati makanan tersebut tidak akan pernah sampai ke usus (karena adanya fistula), derajat lapar hewan tersebut menjadi berkurang setelah “makan”. Diduga ada faktor-faktor tertentu terkait aktivitas mulut saat makan seperti mengunyah, membasahi, mengulum dan mengecap yang memberi sinyal ke hipotalamus untuk menghentikan rasa lapar. Namun mekanisme inhibisi rasa lapar ini hanya bertahan 20-40 menit, jauh lebih singkat dibandingkan inhibisi rasa lapar yang disebabkan oleh pengisian sistem gastrointestinal.
Regulasi jangka panjang dalam pengambilan makanan
Berbeda dengan regulasi jangka pendek, regulasi jangka panjang dalam pengambilan makanan lebih bertujuan untuk menentukan status nutrisi seseorang. Berikut adalah mekanisme yang berperan dalam meregulasi pengambilan makanan jangka panjang:
  • Efek konsentrasi glukosa, asam amino dan lipid dalam darah
Telah diketahui bahwa penurunan kadar glukosa darah menyebabkan rasa lapar. Hal itu disebut mekanisme pengaturan glukostatik (kecenderungan untuk menjaga stabilitas kadar glukosa dalam darah). Penelitian lain juga menunjukkan, regulasi oleh asam amino (aminostatik) dan lipid (lipostatik) memainkan peranan dalam mengatur rasa lapar dan kenyang.
Kajian secara neurofisiologis juga mendukung teori glukostatik, aminostatik, dan lipostatik melalui observasi: (1) Peningkatan kadar glukosa darah meningkatkan aktivitas neuron glukoreseptor pada nukleus ventromedial dan paraventrikular dan (2) peningkatan kadar glukosa darah juga meningkatkan aktivitas neuron glukosensitif pada pusat lapar di hipotalamus. Beberapa asam amino dan lipid juga mempengaruhi rasa lapar-kenyang melalui jaras yang hampir sama dengan glukosa.
  • Regulasi yang disebabkan oleh temperatur
Pada saat tubuh terpajan suhu yang rendah, maka secara fisiologis tubuh akan mengalami peningkatan laju metabolisme dan membutuhkan lemak dalam jumlah tinggi sebagai insulator. Pusat peregulasi temperatur akan berinteraksi dengan pusat kenyang-lapar sehingga menyebabkan keinginan untuk makan demi memenuhi kebutuhan kalori.
  • Sinyal umpan balik dari jaringan adiposa
Penelitian terbaru menunjukkan adanya sinyal umpan balik dari jaringan adiposa yang menekan rasa lapar pada hipotalamus. Adalah leptin, sebuah hormon yang dilepaskan dari adiposit ketika terjadi penyimpanan energi (setelah makan) yang berperan dalam proses tersebut. Leptin akan menembus sawar darah otak dan menduduki reseptornya terutama pada neuron POMC pada nukleus arkuata dan paraventricular.
Stimulasi leptin pada neuron-neuron tersebut akan mengakibatkan: (1) penurunan produksi stimulator rasa lapar, seperti NPY dan AGRP, (2) aktivasi neuron POMC yang menyebabkan pelepasan α-MSH dan menstimulasi reseptor melanokortin, (3) meningkatkan produksi corticotropin releasing hormone yang menekan rasa lapar, (4) meningkatkan aktivitas jaras simpatis yang menimbulkan peningkatan laju metabolik dan penggunaan energi, dan (5) menurunkan sekresi insulin yang menimbulkan penurunan aktivitas penyimpanan energi. Dengan demikian leptin berperan besar dalam regulasi jangka panjang.
Defek pada reseptor leptin akan menimbulkan rasa lapar yang berkepanjangan dan memicu hiperfagia dan obesitas parah. Selain itu resistensi leptin juga dapat menimbulkan obesitas, di mana leptin diproduksi dalam jumlah adekuat namun terjadi resistensi sehingga penderita akan makan terus-menerus.
  • Faktor psikososial
Selain sinyal-sinyal involunter yang terdapat di dalam tubuh, diduga faktor psikologis dan sosial juga membentuk kebiasaan makan. Contohnya adalah kebiasaan makan yang rutin dan terjadwal sehingga membuat seseorang makan karena memang sudah waktunya (bukan karena lapar), atau gaya hidup seperti hiburan, bisnis dan waktu senggang yang turut menentukan kapan seseorang makan.
Stress, cemas, depresi, dan bosan juga menentukan perilaku makan manusia melalui mekanisme yang tidak melibatkan mekanisme pemenuhan kebutuhan energi, baik pada hewan percobaan maupun manusia. Faktor-faktor psikososial ini mampu mengalahkan faktor-faktor intrinsik fisiologis yang mengatur selera makan.

Daftar pustaka
  1. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11th ed. Pennsylvania: Elsevier Inc; 2006. p. 867-72.
  2. Sheerwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2001. p. 593-5.

Selasa, 26 Juli 2011

Respon Imun Infeksi HIV

Sel limfosit CD4 merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4,  terganggunya  homeostasis dan fungsi sel-sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini akan  menimbulkan berbagai gejala penyakit dengan spektrum yang luas. Gejala penyakit  tersebut terutama  merupakan akibat terganggunya fungsi imunitas seluler, disamping imunitas humoral karena  gangguan sel T helper (TH) untuk   mengaktivasi sel limfosit B. HIV menimbulkan patologi penyakit melalui beberapa mekanisme, antara lain: terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi oportunistik,  terjadinya reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas dan kecenderungan terjadinya malignansi atau keganasan pada  stadium lanjut.

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi  utama, yaitu transmisi melalui mukosa genital, transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV memerlukan reseptor dan reseptor utama untuk HIV adalah molekul CD4 pada permukaan sel pejamu. Namun reseptor CD4 saja ternyata tidak cukup. Ada beberapa sel  yang tidak mempunyai reseptor CD4, tapi dapat diinfeksi oleh HIV. Diperkirakan ada reseptor lain untuk HIV, yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, dan  molekul CD26 yang diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virus kedalam sel. Disamping itu telah ditemukan juga  koreseptor kemokin yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses masuknya HIV ke dalam sel yaitu CCR5 dan CXCR4. Penelitian intensif di bidang virologi HIV dan kemajuan di bidang imunologi akhir-akhir ini dapat dengan lebih jelas menerangkan bagaimana HIV masuk kedalam sel pejamu dan menimbulkan perubahan patologi pada tubuh manusia  

 Struktur HIV
HIV merupakan suatu virus RNA bentuk spheris dengan diameter 1000 angstrom   yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp 41. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase (gambar 1).

Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983 dan HIV-2 yang ditemukan  pada tahun 1986 pada penderita  AIDS di  Afrika Barat. Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1,  sedangkan  tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.

HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama, HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai vpx, sedangkan  sebaliknya HIV-2 mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu. Perbedaan struktur genome ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian-penelitian klinis dan laboratoris  lebih sering dilakukan terhadap HIV-1. 

Sel Target
Sel yang merupakan target utama HIV adalah sel yang mempunyai reseptor CD4, yaitu  limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) dan monosit/makrofag. Beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vivo atau in vitro  adalah megakariosit,  epidermal  langerhans, periferal dendritik, folikular dendritik, mukosa rektal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikroglia,  astrosit,  sel trofoblast,  limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. Beberapa sel yang pada mulanya dianggap CD4 negatif, ternyata  juga dapat  terinfeksi  HIV namun kemudian diketahui bahwa sel-sel tersebut mempunyai CD4 kadar rendah. Sel tersebut antara lain adalah sel mieloid progenitor CD34+ dan sel Thymocyte triple negative. 

Disamping itu memang ada sel yang benar-benar CD4 negative tetapi dapat terinfeksi HIV. Untuk hal  ini diperkirakan ada reseptor lain untuk HIV, yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, atau galactosyl ceramide.  Terakhir ditemukan molekul CD26 yang diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virion setelah terjadi binding.

Mekanisme Imunitas Pada Keadaan Normal
Aktivasi sel Th dalam keadaan normal terjadi pada awal terjadinya respon imunitas. Th dapat teraktivasi  melalui dua sinyal, yaitu: pertama terikatnya reseptor Ag -TCR (T Cell Receptor) dengan kompleks Antigen- molekul MHC Clas II yang dipresentasikan oleh makrofag sebagai antigen presenting cells (APCs) yang teraktivasi oleh antigen. Sinyal kedua  berasal dari Sitokin IL-1 yang dihasilkan oleh APC yang teraktivasi tadi. Kedua sinyal tadi akan merangsang Th mengekspresikan reseptor IL-2 dan produksi IL-2 dan sitokin lain yang dapat mengaktivasi makrofag, CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC) dan sel limfosit B. IL-2 juga akan berfungsi autoaktivasi terhadap sel Th semula dan sel Th lainnya yang belum memproduksi IL-2 untuk berproliferasi. Jadi dengan demikian akan terjadi amplifikasi respon yang diawali oleh kontak APCs dengan sel Th semula.

Aktivasi sel Tc yang berfungsi untuk membunuh benda asing atau nonself-antigen, dan Tc dapat dibedakan dengan Th karena Tc mempunyai molekul CD8 dan akan mengenal antigen asing melalui  molekul MHC class I. Seperti sel Th, sel Tc juga teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu sinyal pertama adalah interaksi reseptor Ag-TCR dengan kompleks epitope benda asing dan molekul MHC Class I. Sel tersebut bisa berupa sel tumor atau jaringan asing. Sinyal kedua adalah rangsangan dari sitokin IL-2 yang diproduksi oleh sel Th tersebut.

Tangan ke tiga  dari imunitas seluler di lakukan oleh sel NK (natural killer), yaitu sel limfosit dengan granula kasar dengan petanda CD16 dan CD56. Fungsinya secara non spesifik menghancurkan langsung sel-sel asing,  sel tumor atau sel terinfeksi virus. Atau juga dengan cara spesifik untuk sel-sel yang di lapisi oleh antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC).

Aktivasi sel limfosit B memerlukan paling sedikit tiga sinyal, yaitu pertama oleh imunogen yang terikat pada reseptor antigen, dan dua sinyal lainnya adalah limfokin BCDF (B cell differentiaton factor ) dan BCGF (B cell growth factor) yang di produksi oleh sel TH yang teraktivasi. Dengan aktivasi sel limfosit B, maka akan terjadi pertumbuhan dan differensiasi sel limfosit B menjadi sel plasma sebagai sel yang akan memproduksi antibodi.

 Pengaruh HIV Terhadap Sistem Imun
HIV terutama menginfeksi limfosit CD4 atau T helper (Th), sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik  respon imun seluler maupun  respon imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler. Jadi akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang menyebabkan hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal.

1. Abnormalitas pada Imunitas seluler 
 
Untuk mengatasi organisme intra seluler seperti  parasit, jamur  dan bakteri intraseluler yang paling diperlukan adalah respon imunitas seluler yang disebut Cell Mediated Immunity (CMI). Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer),  yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, disamping  secara spesifik membunuh sel yang di bungkus oleh antibody melalui mekanisme antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV. 
Sel Th : Jumlah dan fungsinya akan menurun. Pada umumnya penyakit indikator AIDS tidak terjadi sebelum jumlah CD4 mencapai 200/uL bahkan sebagian besar setelah CD4 mencapai 100/uL.
Makrofag : Fungsi fagositosis dan kemotaksisnya menurun, termasuk juga kemampuannya menghancurkan organisme intra seluler, misalnya kandida albikans dan toksoplasma gondii.


Sel Tc : Kemampuan sel T sitotoksik  untuk menghancurkan sel yang terinfeksi virus menurun, terutama pada infeksi stadium lanjut, sehingga terjadi reaktivasi virus yang tadinya laten, seperti herpes zoster dan retinitis sitomegalo. Demikian juga sering terjadi differensiasi sel  ke arah keganasan atau malignansi.
Sel NK : Kemampuan sel NK untuk menghancurkan secara langsung antigen asing dan sel yang terinfeksi virus  juga menurun. Belum diketahui dengan jelas apa penyebabnya, diperkirakan kemungkinan karena kurangnya IL-2 atau efek langsung HIV.

2. Abnormalitas pada imunitas humoral 

Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi  oleh  sel plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4 yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B cell growth factors) dan BCDF (B cell differentiation factors) akan merangsang limfosit B tumbuh dan berdifferensiasi menjadi sel Plasma. Dengan adanya antibody diharapkan  akan meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui proses opsonisasi .
HIV menyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara poliklonal dan  non-spesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinaemia terutama IgA dan IgG. Disamping memproduksi  lebih banyak immunoglobulin,  limfosit B pada odha (orang dengan infeksi HIV/AIDS) tidak  memberi respon yang tepat. Terjadi perubahan dari pembentukan antibodi IgM  ke antibodi IgA dan IgG.  Infeksi bakteri dan parasit intrasel menjadi masalah berat karena respons yang tidak tepat, misalnya reaktivasi Toxoplasma gondii atau CMV tidak direspons dengan pembentukan immunoglobulin M (IgM).  Respons antibodi pasca vaksinasi dengan antigen protein atau polisaccharide sangat lemah, misalnya vaksinasi Hepatitis B, Influenza, pneumokokus, dll. Fungsi neutrofil  juga  terganggu, karena itu sering terjadi infeksi oleh stafilokokus aureus yang menyebabkan infeksi kulit dan pneumonia. Apalagi pemakaian obat antiretrovirus (ARV) seperti zidovudine atau anti virus sitomegalo yaitu ganciclovir dapat menimbulkan terjadinya neutropenia.
Banyak yang belum diketahui tentang antibodi terhadap HIV. Apakah  antibodi bisa mencegah meluasnya infeksi HIV didalam tubuh, atau paling tidak berperan untuk menetralkan HIV. Produksi antibodi terutama neutralizing antibodi  kasus AIDS stadium lanjut (dimana limfosit CD4 <  200/uL) bila dibandingkan dengan orang tanpa HIV, ternyata sangat  berbeda. Sedangkan pada stadium sebelumnya  dimana sel Th masih diatas 200-500/ uL, produksi anitibodi tidak begitu berbeda.  Antibodi spesifik terutama  neutralizing antibody baru mulai muncul pada minggu kedua atau ketiga, bahkan bisa mundur beberapa bulan setelah infeksi.

Secara umum dapat dikatakan respon antibodi terhadap HIV sangat lemah, dan hanya sebagian kecil  saja dari fraksi antibodi ini yang dapat menetralisasi HIV. Karena itu HIV dapat melewati respon antibodi sehingga dapat bertahan hidup dan menginfeksi sel lainnya.

Fase Infeksi Akut

Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama, sel dendritic (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap HIV. DC  bertindak sebagai antigen presenting cell (APC)  dan mempresentasikan HIV ke sel limfosit CD4 sehingga   dapat merangsang limfosit T naïve. Hal ini terjadi karena DC  mengekpresikan molekul major histocompatibility complex (MHC)  klas I,  MHC klas II dan molekul kostimulator lain pada permukaannya. Setelah  HIV tertangkap DC akan menuju kelenjar limfoid dan mempresentasikannya kepada sel limfosit T naive. Disamping mengangkut HIV kekelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel limfosit CD4, dengan demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel  limfosit Th. 

Perlu diketahui terikatnya HIV ke DC melalui pengikatan protein envelop gp 120 pada sekelompok molekul yang disebut C-type lectin receptor. Termasuk dalam C-type lectin receptor adalah dendritic cel –specific ICAM -3- grabbing non-integrin (DC-SIGN), mannose receptor dan Langerin. Masing-masing molekul ini dapat mengikat gp 120 dan ini lalu dipresentasikan pada sel DC yang berbeda. DC sel mengekspresikan molekul CD4 dan molekul CCR5 tapi tidak mempunyai CXCR4. Mungkin ini berpengaruh dan dapat menjelaskan mengapa  hampir 95%  strain HIV yang ditemukan pada infeksi primer adalah strain M- tropik atau R5 HIV strain. Sama seperti transmisi mukosa, transmisi HIV secara vertikal juga terutama  Strain R5. Pada manusia waktu lama dari  infeksi mukosa sampai terjadi viremia, berkisar antara 4-11 hari. Hal ini juga tergantung dari apakah ada hal-hal lain yang merusak barier mukosa, seperti misalnya  inflamasi dan infeksi (cervisitis, urethritis, ulkus genitalis, dsb).

 HIV baik sebagai virus bebas ataupun yang berada dalam sel yang terinfeksi akan  menuju kelenjar limfe regional dan merangsang respon imun seluler maupun humoral. Mobilisasi limfosit ke kelenjar ini justru menyebabkan makin banyak sel limfosit yang terinfeksi. Dalam beberapa hari akan terjadi limfopenia dan menurunnya limfosit CD4 dalam sirkulasi. Dalam fase ini didalam darah akan ditemukan HIV bebas titer tinggi dan komponen inti p24, yang menunjukkan tingginya replikasi HIV yang  tidak dapat dikontrol oleh sistim imun. Dalam 2-4 minggu  akan terjadi peningkatan jumlah sel limfosit total yang disebabkan karena tingginya subset limfosit CD8 sebagai bagian dari respon imunitas seluler terhadap HIV. Diperkirakan  paling sedikit 10 milyard  HIV diproduksi dan dihancurkan setiap harinya, karena waktu paruh virus dalam plasma  adalah sekitar 6 jam. Tapi ada yang mengatakan turnover HIV adalah 2x10  milyard  perhari, sedangkan sebagai bandingan, estimasi penurunan CD4 limfosit adalah 20-200 x 1 juta  perhari dengan  klirens waktu paruhnya  sekitar dua hari.


Setelah fase akut, akan terjadi penurunan jumlah HIV bebas dalam plasma maupun dalam sel. Masih belum jelas, mengapa bisa demikian, akan tetapi analogi dengan infeksi virus pada umumnya. Sel limfosit T sitotoksik CD8 yang sebagai efektor sel dapat mengontrol infeksi akut oleh virus, karena dia bisa mengenal dan menghancurkan  sel yang telah terinfeksi (ini kadang-kadang dapat merugikan juga), sehingga dapat mencegah replikasi dan pembantukan virus baru. Pada infeksi HIV sejak awal  ditemukan tingginya jumlah sel T limfosit sitotoksik (TCLs atau Tc).  Sel limfosit sitotoksik yang mempunyai petanda CD8, akan teraktivasi oleh HIV dan akan mengeluarkan sejumlah solubel sitokin (termasuk CAF ), yang dapat menghambat replikasi HIV dalam limfosit CD4. Keadaan seperti ini juga terjadi pada infeksi HIV akut, bahkan sebelum serokonversi. Disamping jumlahnya menurun, maka fungsi limfosit CD4 juga terganggu, bahkan pada stadium dimana jumlahnya masih diatas 500/ml. Ternyata kemampuannya untuk proliferasi karena rangsangan berbagai macam antigen dan kemampuannya untuk memproduksi sitokin untuk fungsi helper juga menurun.Terjadi penurunan respon pengenalannya terhadap antigen bakteri, virus atau toksin yang pernah dikenal, lalu hilangnya respon terhadap sel asing (allogeneic response), terakhir juga kehilangan  kemampuan untuk respon mitogen non-spesifik seperti phytohaemaglutinin.

Risiko infeksi oportunistik dipengaruhi oleh jumlah CD4. Pada jumlah CD4 dibawah 100 dapat terjadi infeksi toksoplasma sedangkan pada jumlah CD4 dibawah 50 dapat terjadi infeksi Sitomegalo.

Peranan Kelenjar Limfe Pada Infeksi HIV

Penelitian tentang peranan kelenjar limfe dalam infeksi akut HIV, dilakukan secara histopatologik  biopsy kelenjar yang diikuti baik secara longitudinal, maupun cross sectional, pada percobaan  rhesus monkey dengan SIV dan orang yang terinfeksi HIV. Didapatkan HIV telah berada dalam kelenjar limfe kera 5 hari setelah infeksi SIV, dan bila dilakukan analisis hibrida terhadap RNA HIV/SIV pada fase itu, ternyata HIV kebanyakan terdapat sebagai  sel-sel individual yang mengekspresikan RNA, dan mencapai puncak pada hari ke 7 setelah inokulasi. Analisis biopsy kelenjar secara cross sectional  pada orang yang terinfeksi HIV bersifat konsisten dengan model rhesus monkey. Dengan bukti itu, maka kelenjar limfe merupakan organ anatomi yang pertama yang terinfeksi HIV. 
Pada fase transisi ke fase kronik, terjadi switch dari ekspresi sel-secara individual ke bentuk trapping HIV oleh jaringan  sel dendritik folikuler didalam germinal senter kelenjar limfe. Bentuk ini mendominasi keberadaan HIV dan pada saat ini terjadi penurunan secara drastis   jumlah sel-sel  individual yang mengekspresikan HIV. Jadi pada fase akut ini dapat dilihat adanya upaya sel-sel limfosit T sitotoksik untuk mengurangi jumlah HIV. akan membentuk kompleks  dengan imunoglobulin  dan komplemen. Kompleks ini akan terikat pada  reseptor komplemen pada  permukaan sel dendritik. Secara klinik akan terjadi penurunan jumlah RNA HIV dalam plasma dan menghilangnya sindroma  infeksi akut.

Terjadinya  gejala-gejala AIDS umumnya didahului oleh percepatan penurunan jumlah limfosit CD4, sering terjadi pada keadaan dimana sebelumnya jumlah limfosit CD4 diatas 300/uL. Pada umumnya perubahan ini berkorelasi dengan munculnya strain HIV yang lebih virulen, yaitu strain SI (Syncitial Inducing), diikuti oleh gejala klinis menghilangnya  gejala limfadenopati generalisata yang merupakan  prognosis yang buruk. Hal ini terjadi akibat hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe, ditandai oleh membanjirnya HIV kedalam sirkulasi karena  rusaknya struktur kelenjar limfe.

3. Reaksi Autoantibodi

Reaksi autoantibodi cenderung terjadi pada fase awal infeksi HIV pada saat sistem imunitas masih relatif bagus. Karena  limfosit B tidak  memberi respon yang tepat, terbentuk autoantibodi terhadap beberapa protein tubuh, antara lain antibodi terhadap platelet, neutrofil, limfosit dan myelin. Mekanismenya tidak begitu jelas, ada dua jalur. Pertama akibat aktivasi sel B yang disregulasi sehingga terjadi poliklonal hipergammaglobulinemia. Kedua karena adanya molecular mimicry antara antigen HIV dengan beberapa protein tubuh. Keadaan ini menimbulkan sindroma autoimun, antara lain Autoimun trombositopenik purpura (AITP), antiphospholipid antibodi (APLA), autoimun gastropati dengan hipochlorhidria, autoimun hemolitik anemia (AIHA),  pruritic papulovesicular eruption (PPVE). Proses autoimun juga mempercepat penurunan jumlah T CD4. Pada stadium awal infeksi HIV juga dapat terjadi Sindroma yang dimediasi oleh limfosit T-CD8, seperti  sindroma Sjogren’s,  Lymphocytic Interstitial Pneumonitis (LIP), Autoimun Polymyositis, Autoimun chronic active hepatitis dan  Cardiac myositis.
Sindroma demyelinisasi, seperti  sindroma Guillain Barre, chronic idiopathic demyelinating polyneuropathy dan sindroma kompleks imun seperti  polyarteritis nodosa-like arteritis dan Hypersensitivity vasculitis bisa timbul juga pada awal penyakit Gambar 5  menunjukkan gejala klinik di hubungkan dengan lama infeksi dan jumlah Th (CD4). Jumlah CD4 menentukan manifestasi gejala klinik yang timbul melalui patogenesis yang berbeda. Pada awal merupakan respon tubuh yang sama seperti infeksi oleh virus lain, setelah itu, pada saat  jumlah CD4 masih cukup tinggi (500-700) dapat timbul gejala akibat reaksi autoantibodi. Gejala klinik pada waktu CD4 sudah rendah (<500) merupakan infeksi oportunistik atau kanker oportunistik.

4. Reaksi Hipersensitivitas pada infeksi HIV

            Reaksi hipersensitivitas pada infeksi HIV tidak jarang terjadi, dan umumnya berkaitan dengan obat-obatan. Daftar obat-obatan yang diketahui  menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada infeksi HIV semakin lama semakin bertambah. Kejadian hipersensitivitas terhadap obat jauh lebih tinggi pada infeksi HIV dibandingkan pada non HIV. Misalnya hipersensitivitas terhadap Trimethoprim-sulfametoksazole dosis tinggi untuk mengobati PCP terjadi antara 27%-64%, dibandingkan 3% pada orang imunokompeten atau imunodefisiensi karena non HIV. Kejadian hipersensitivitas terhadap obat ini akan lebih buruk lagi karena selalu diperlukan obat pengganti, dimana obat ini mempunyai efektifitas kurang atau mempunyai efek yang lebih toksik.
 Patogenesis terjadinya reaksi hipersensitivitas ini diperkirakan melalui jalur reaksi alergi, (jadi bersifat immune mediated) atau karena toksik yang penyebabnya belum diketahui.  Namun  reaksi hipersensitivitas yang ditemukan pada infeksi HIV ini tidak dapat dimasukkan pada salah satu dari 4 tipe reaksi hipersensitivitas menurut klasifikasi Gell and Coombs. Memang  bertentangan sekali terjadi reaksi hipersensitivitas pada orang yang ’anergi’ terhadap beberapa stimulan lain, misalnya vaksinasi Hepatitis B atau tes tuberculin.
Beberapa keadaan yang diduga berperan adalah:
a. Disregulasi pada sistem imun. Reaksi terhadap Amoxycilin, Trimethoprim-sulfametoksazole dan obat anti TB (OAT) sering terjadi pada CD4  rendah (20-<200/uL). Pemeriksaan histopatologi kulit menunjukkan kelainan yang sama, tidak tergantung obat pencetus, sehingga diperkirakan patogenesisnya bersifat umum.
b. Koinfeksi virus-virus lain, seperti  virus  Epstein-Barr (EBV), Sitomegalo (CMV) dan beberapa virus saluran nafas dikatakan berhubungan dengan terjadinya rash kulit akibat Ampisilin. Tidak  ditemukan timbulnya  rash kulit, bila fase infeksi akut oleh virus-virus tersebut sudah lewat.

c. Besar dosis dan lama pemakaian obat. Misalnya ditemukan reaksi hipersensitivitas pada pemakaian  dosis tinggi trimethoprim-sulfametoksazole bila dibandingkan dengan pemakaian dosis rendah sebagai profilaksis. Dan semakin lama obat dikonsumsi, semakin tinggi kemungkinan terjadinya reaksi hipersensitivitas.
d. Faktor lain misalnya  imunoglobulin yang spesifik untuk obat tertentu dan Struktur obat dan metabolismenya dalam tubuh.

5. Timbulnya malignansi atau tumor sekunder pada infeksi HIV

            Telah diketahui bahwa degenerasi maligna akan disebabkan oleh adanya differensiasi dan proliferasi sel yang abnormal. Kerusakan genetik sel dapat berakibat kematian sel, atau beberapa sel dengan struktur genetik yang berubah tersebut masih dapat hidup dan menunjukkan fenotipe yang berbeda. Fenotipe yang berbeda bisa berkembang kearah malignansi atau keganasan. 
Disinilah peran sistem imun, terutama respon imun seluler berfungsi untuk menghancurkan antigen asing. Sebab bila tidak terjadi klirens, maka antigen asing tersebut merupakan stimuli kronis terhadap proliferasi sel-sel imun yang cenderung berlebihan.  Misalnya proliferasi poliklonal dari sel limfosit B dengan berbagai akibatnya  dan terjadinya limfadenopati generalisata. Disamping itu sistem imun  berfungsi untuk menghancurkan sel dengan fenotipe yang berubah kearah keganasan akibat adanya virus yang bersifat onkogenik.
Pada infeksi HIV dengan adanya defisiensi imun akan memungkinkan aktivasi virus-virus laten dalam tubuh sehingga terjadi keganasan sekunder, misalnya  EBV berkaitan dengan timbulnya Limfoma Non Hodgkin’s, HPV (human papiloma virus) berkaitan dengan timbulnya karsinoma leher rahim, dan Human herpes Virus 8 berkaitan dengan  sarkoma Kaposi’s.


Faktor pejamu dan virus yang mempengaruhi infeksi HIV

Respon imun spesifik terhadap HIV tidak dapat mengontrol  atau  menghambat infeksi kearah kronik. Faktor-faktor yang menentukan hal tersebut adalah: faktor genetik host, mekanisme imunologis untuk melepaskan diri dari imun survailan dan faktor virusnya sendiri. 
Faktor pejamu : Genetik dengan HLA class I haplotype sering menunjukkan penyakit  yang tidak progresif dibanding HLA lainnya. Disamping itu ditemukan adanya mutasi genetik homozigot  pada reseptor kemokin CCR5, seperti  ∆32CCR5-∆32CCR5 akan relatif resisten terhadap infeksi HIV. Akan tetapi mutasi heterozigot seperti CCR5-∆32CCR5 tidak dapat mencegah infeksi, namun secara bermakna berhubungan dengan progresifitas penyakit yang lambat. Faktor imunologik  yang dapat mempengaruhi, antara lain:  tingginya RNA HIV plasma yang terjadi setelah infeksi akut yang disebut  set point, dapat dipakai untuk menduga kecepatan progresifitas penyakit. Virologic set point pada orang yang terinfeksi HIV akan berbeda-beda, tapi cenderung tetap stabil pada orang yang sama pada fase kronik. Menghilangnya clone sel sitotoksik limfosit CD8 yang spesifik, gangguan fungsi APCs, dan adanya respon antibodi humoral.
 Faktor virus : HIV dapat bertahan dalam tubuh karena HIV mempunyai kemampuan untuk tetap  berada  dalam limfosit CD4 dan mempunyai kemampuan untuk replikasi, adanya variabilitas genetik HIV dan trapping HIV pada permukaan sel folikuler dendritik. Pooling tersebut mengandung DNA provirus dengan daya replikasi. Sebagai catatan, tipe ini juga dapat dijumpai pada seseorang yang telah memakai HAART selama 2 tahun, sehingga bila HAART dihentikan, maka HIV plasma akan meningkat lagi yang berarti gejala penyakit  akan muncul lagi. Perusakan sel limfosit CD4 yang membawa provirus ini terjadi sangat lambat sekali, dan prosesnya tidak dapat dipengaruhi oleh HAART, sehingga menghambat eradikasi HIV. Trapping oleh sel folikuler dendritik sebenarnya  merupakan fungsi fisiologis untuk melakukan klirens terhadap patogen, akan tetapi pada HIV justru akan menjadi reservoir kronik yang stabil ( karena HIV terbebas dari serangan CTLs spesifik) dan merupakan sumber infeksi bagi limfosit CD4 , sehingga  terjadi inflamasi kronik yang mengakibatkan  terjadi destruksi jaringan limfosit pada stadium lanjut. HIV dapat bertahan dan berada dalam organ atau sel tertentu pada manusia, sehingga merupakan sumber HIV secara kronik.

Penutup

Telah dibahas berbagai aspek imunodefisiensi pada infeksi HIV. Infeksi HIV mempunyai target utama sel limfosit CD4 yang berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, sehingga fungsi imunitas  seluler terganggu.  Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. 

Demikian juga sel NK (Natural Killer),  yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, disamping  secara spesifik membunuh sel yang di bungkus oleh antibody melalui mekanisme antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). 8,22-24  Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV.

Disamping itu penurunan jumlah dan fungsi sel T CD4 ini mengakibatkan  terganggunya  homeostasis dan fungsi sel lainnya dalam sistem imun humoral, yaitu sel  limfosit B yang berperan dalam imunitas  humoral. Terganggunya fungsi limfosit B karena disregulasi oleh sel limfosit  CD4 akan menimbulkan respon imun humoral yang tidak relevan  dan  terbentuknya poliklonal hipergammaglobulinemia.

Dapat dirangkumkan, defisiensi imun akibat HIV  dapat mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik, timbulnya reaksi autoimun,  mudah terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap obat-obat yang sering dipakai dan pertumbuhan  tumor ganas sekunder, seperti Limfoma Non Hodgkin, Sarkoma Kaposi’s dan  karsinoma serviks.
Pemberian obat antiretroviral dapat meningkatkan CD4 sehingga risiko infeksi oprtunistik menurun. Namun pemulihan sistem imun juga dapat menimbulkan sindrom rekonstitusi imun . Sedangkan pada disfungsi imun, perbaikan klinik tidak disertai dengan peningkatan CD4 secara nyata. 

Daftar Pustaka

  1. French RF, Stewart GJ, Penny R, Levy JA. How HIV produces immune deficiency. In: Stewart GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian medical publishing Co. Limited, 1997.p.22-28.
  2. Rizzardi GP and Pantaleo G. The Immunopathogenesis of HIV-1 Infection. In : Armstrong and Cohen eds. Infectious Diseases, London: Mosby Co.1999; 2, p5.61-12
  3. Crowe S and  Kornbluth RS. How HIV leads to Opportunistic infection. In: Stewart           GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co.                  Limited, 1997 p.28-30.
  4.  Gala  S and Fulcher DA. How HIV leads to Autoimmune disease. In: Stewart           GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co.                  Limited, 1997 p.31-33.
  5. Carr A and Garsia R. How HIV leads to Hypersensitivity Reactions. In: Stewart           GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co.                  Limited, 1997 p.34-36.
  6. Boyle MJ ; Goldstein DA, Frazer IH and Sculley TB. How HIV promotes malignancies. In: Stewart GJ editor. Managing HIV. Sydney: Australasian Medical Publishing Co. Limited, 1997 p.37-39.
  7. Levy JA. HIV Pathogenesis : Virologic and Immunologic Features With attention to Cytokines. http://www.medscape.com/viewarticle/487733 di akses 5 Januari 2005
  8. Pantaleo G, Graziosi C, Fauci AS. The Immunopathogenesis of Human Immunodeficiency Virus infection. N Engl J Med 1993; 328: 327-335.